Senin, 20 Februari 2012

Hadratus Syech Abul Hasan asy-Syadzili

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.

Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.

Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.

Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).

Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.

Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.

Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.

Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.

Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.

Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.

Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT. tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.

Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.

Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.

Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).

Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.

Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.

Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.

Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.

Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.

Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.

Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT

ISRO' WAL MI'ROJ


Kisah Isra’ – Mi’raj Nabi Muhammad SAW selalu menarik perhatian terutama bagi saintis. Berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan digali untuk menyingkap misteri disekitar perjalanan Rasulullah SAW pada waktu malam hari dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsa, perjalanan beliau yang dinamai Isra’.

Demikian pula perjalanan Beliau dari Masjidil Aqsa dengan naik tangga ke langit pertama, kedua dan seterusnya, sampai langit ke tujuh kemudian ke Shidratul Muntaha perjalanan Beliau yang dinamai Mi’raj. Ada dua hal yang bisa dipermasalahkan.
Pertama apakah perjalanan Isra’ dan Mi’raj yang Beliau jalani dengan badan dan ruh atau dengan ruh Beliau saja ?.
Kedua, dimana letak tujuh lapis langit yang Beliau harungi ?. Apakah itu di sistem tata surya kita dengan planet – planet Merkurius, Venus, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto ? atau diluar sistem tata surya kita, atau di galaksi kabut susu, atau di galaksi yang lain, misalnya di galaksi Andromeda.
Ataukah sama sekali di luar alam semesta yang kita hayati ini ?
Sebagian besar umat Islam berpendapat, bahwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW dilaksanakan dengan ruh dan badan. Alasan mereka ialah, bahwa Rasulullah SAW menceritakan kisah itu tidak menyebut – nyebut, bahwa Beliau melakukan perjalanan itu hanya dengan ruh.
Dan seandainya itu melakukan perjalanan itu dengan ruh saja, niscaya orang – orang kafir tidak mempersoalkan jarak yang demikian jauh dapat dilakukan kurang dari satu malam. Sebagian umat berpendapat, bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh Beliau, sedang badan Beliau tetap di Mekkah. Mereka berpendapat orang dapat mengeluarkan ruh dari badannya.
Memang ada dikemukakan kasus – kasus seperti itu. meskipun cerita – cerita tentang orang yang dapat mengeluarkan badan ruhaninya atau badan halusnya dari badan jasmaninya tercatat beberapa macam, tetapi kebenaran cerita – cerita itu masih belum sampai pada penelitian ilmiah yang dapat dipercaya dalam dunia sains.
Antara lain suatu kisah tentang orang yang mengalami operasi. Ketika dibius, dia merasa ringan dan terbang keatas. Dia melihat badan jasmaninya mengalami operasi. Ruh yang sudah keluar dari jasmani kasar melayang keluar rumah sakit sampai pada kompleks pertokoan. Di situ dia melihat seorang kawan sedang berhenti berjalan di muka toko sepatu dan melihat – lihat di etalase. Ruh itu kemudian terbang kembali memasuki jasmani kasarnya. Ketika di cek, kawan yang dilihat berdiri di muka toko sepatu itu cocok dengan pengamatannya, yakni hari, dan waktunya. Ini dianggap suatu bukti bahwa badan halus mampu keluar dari badan kasarnya.
Wallahu’alam bish shawab.
Langit yang Tujuh Lapis
Masalah yang kedua menyangkut tempat Rasulullah SAW melakukan Mi’raj ke langit pertama, kedua, ketiga, sampai langit ke tujuh, bahkan kemudian naik sampai ke Shidratul Muntaha. Perkembangan ilmu astronomi sudah sampai kepada wujudnya galaksi – galaksi selain galaksi kabut susu tempat system tata surya kita.
Interpretasi mengenai tempat Mi’raj Nabi Muhammad SAW mengalami kebingungan. Bila dikatakan Nabi Muhammad SAW hanya mengarungi planet Pluto, yakni planet yang posisinya paling jauh dari matahari, itu terlampau dekat bagi perjalanan Mi’raj, sebab jagad raya kita terdiri dari galaksi – galaksi yang banyak sekali lalu mana itu Tujuh Lapis Langit yang di harungi oleh Rasulullah SAW bersama – sama malaikat Jibril a.s ?
Kini perkembangan astronomi lebih maju lagi. Dengan teori grup matematika yang beroperasi didalam ruang yang berdimensi sebelas, empat diantaranya dimensi ruang waktu yang kita alami, ditemukan bahwa terdapat kemungkinan adanya shadow world atau alam bayangan itu tidak mesti sama dengan apa yang ada di alam kita ini.
Bahkan kita dapat menghubunginya lewat medan gravitasi. Teori ini masih berkembang yang memerlukan pengkajian secara eksperimental.
Sikap Seorang Muslim
Setiap orang muslim yang mempercayai Allah dan Rasulnya pasti mempercayai kisah Isra’ dan Mi’raj yang bersumber dari Al qur’an dan Sunah Shohihah. Adapun Interpretasi tentang kisah tersebut bervariasi. dan setiap muslim berhak memilih macam variasinya yang dimantapinya. Orang yang mantap berpendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW dijalani dengan ruh dan badan tidak menganggap orang yang berpendapat bahwa dengan ruh saja sudah termasuk kafir. Tidak demikian ! Sebab soal tersebut tidak termasuk soal prinsip yang menyebabkan kekufuran.
Artikel ini juga tidak bermaksud untuk membuat pembaca nan budiman menjadi bingung, tak tahu mana yang paling benar dari berbagai macam variasi interpretasi. Bahkan hendaknya setiap muslim selaku ulul albab, yakni yang dianugerahi oleh Allah SWT intelegensi akal fikiran ikut memikirkan interpretasi – interpretasi tersebut, mengadakan koreksi, merevisi, dan bila mampu melakukan inovasi. Kebenaran mutlak ada pada sisi Tuhan dan tidak berubah, juga tidak terpengaruh oleh adanya berbagai macam interpretasi yang mungkin berubah – ubah menurut perkembangan pemikiran manusia.
‘Ala kulli hal, kita meyakini kisah Isra’ dan Mi’raj sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Surat Al – Isra’ ayat 1 dan dituturkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits – hadits shahih. Adapun tampat Beliau menjalani Mi’raj, ilmu pengetahuan sampai kini belum menemukan keterangan yang qath’I atau pasti. Allah yang paling mengetahui.
Adapun dengan ruh saja atau dengan badan dan ruh, jumhul ulama berpendapat bahwa Rasulullah SAW menjalani perjalanan Isra’ dan Mi’raj dengan badan dan ruh. Inilah pendapat yang insya Allah paling safe.

Jaka Tingkir


Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Mengabdi ke Demak

Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru (saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang sudah diberi mantra. Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.
Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.

Menjadi Sultan Pajang

Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi Bengawan Sore.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama.
Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

Sumpah setia Ki Ageng Mataram

Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.

Menundukkan Jawa Timur

Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.

Pemberontakan Sutawijaya

Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.

Kematian

Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

Pengganti

Sultan Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak.
Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja. Pangeran Benawa sang putra mahkota disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang, bergelar Sultan Ngawantipura.

Asal Mula Munculnya Tasawuf


Teori-teori mengenai asal mula munculnya tasawuf dalam Islam terdapat berbagai pendapat, antara lain :
  1. Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang ralilb-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari men­jadi penunjuk jalan bagi kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan. Dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam mening­galkan dunia, mernilih hidup sederhana dan mengasing­kan diri, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
  2. Falsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Ke­senangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manu­sia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud untuk selanjutnya berkon­templasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah menurut pendapat se­bahagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
  3. Falsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wu­jud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikata­kan pula bahwa falsafat ini mempunyai pengaruh terha­dap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.[1]
  4. Ajaran Buda dengan faham nirwananya. Untuk menca­pai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
  5. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
Inilah beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya mempengaruhi timbul dan munculnya sufisme di kalangan umat Islam. Apakah teori ini benar, atau tidak, itu sulit di­buktikan. Tetapi bagaimanapun, dengan atau tanpa pengaruh­pengaruh dari luar, sufisme bisa timbul dalam Islam.
Di dalam Al-Qur`an memang terdapat ayat-ayat yang mengata­kan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan. Di antaranya:

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)” (QS AL-Baqarah: 186)

MUNAJAT SAYIDINA ALI KW

Segala puji bagi-Mu, wahai Pemilik Kedermawanan, Keagungan, dan Ketinggian.Engkau Maha Agung, memberi dan mencegah siapa yang Kau kehendaki.
Hanya kepada-Mu aku mengadu di saat sulit dan bahagia, wahai Tuhanku, Penciptaku, Pelindungku dan Suakaku
Ilahi, jika dosa telah menumpuk, maka maaf-Mu lebih agung dan lebih lapang dari dosaku
Ilahi, jika kuturuti segala kehendak nafsuku, maka kini aku berkelana di sahara penyesalan.
Ilahi, Engkau melihat kefakiran dan kepapaanku, sedangkan Engkau mendengar munajatku yang tersembunyi
Ilahi, jangan Kau putus harapanku dan jangan biarkan hatiku tersesat, karena asaku tertumpu pada aliran karunia-Mu
Ilahi, jangan Kau sia-siakan daku atau Kau campakkan aku, maka siapa lagi yang dapat kuharap dan kujadikan penyafaat
Ilahi, lindungilah aku dari siksa-Mu, karena aku adalah hamba-Mu yang terpenjara, hina, takut dan bersimpuh pada-Mu
Ilahi, bahagiakanlah aku dengan mengajarkan hujjahku bila aku sudah kembali ke alam kuburku
Ilahi, jika Kau siksa daku seribu tahun, maka temali harapanku kepada-Mu tak kan terputus

Ilahi, biarkan aku merasakan manisnya maaf-Mu pada hari tiada keturunan dan harta yang bermanfaat di sana
Ilahi, jika Kau tak menjagaku, niscaya aku kan binasa, dan jika Kau memeliharaku, maka aku takkan binasa
Ilahi, jika Engkau tak maafkan pendosa, maka siapakah yang kan memaafkan orang jahat yang berlumuran hawa nafsu?
Ilahi, jika aku teledor dalam mencari ketakwaan, maka kini aku berlari mengejar maaf-Muilahi, jika aku berbuat kesalahan tanpa sepengetahuanku, aku selalu mengharap-Mu sehingga orang-orang berkata, “Alangkah tidak takutnya ia!”
Ilahi, dosa-dosaku telah menumpuk bak gunung menjulang, namun ampunan-Mu lebih agung dan tinggi dari dosaku

Ilahi, mengingat karunia-Mu dapat menyelamatkan bara (hati dan kekhawatiran)ku, sedangkan mengingat dosa-dosa, maka mengucurlah air mataku
Ilahi, maafkanlah kesalahanku dan musnahkanlah dosa-dosaku, karena aku mengaku, takut dan bersimpuh di haribaan-Mu
Ilahi, berilah kebahagiaan dan ketenangan kepadaku, karena aku tak kan mengetuk pintu selain-Mu
Ilahi, jika Kau usir aku atau Kau hinakan aku, maka apa dayaku dan tak ada yang bisa kuperbuat, ya Rabbi?
Ilahi, pencinta-Mu kan terjaga sepanjang malam, bermunajat dan memohon kepada-Mu, sedangkan orang yang lupa akan terlelap tidur
Ilahi, makhluk ini berada di antara dua tidur, maka kala sadar ia bersimpuh di malam hari.Mereka semua mengharap karunia agung-Mu, mengharap rahmat-Mu yang agung dan menginginkan keabadian
Ilahi, asaku memberikan sebuah harapan kebahagiaan, sedang keburukan dosaku akan menghinakanku
Ilahi, jika Kau memaafkanku, maka maaf-Mu adalah penyelamatku, dan jika tidak, aku kan hancur dengan dosa yang membinasakan ini
Ilahi, bangkitkanlah aku untuk agama Muhammad dan segera bertaubat, bertakwa, khusyu’ dan bersimpuh di haribaan-Mu
Ilahi, jangan Kau halangi aku dari syafaatnya yang agung, karena syafaatnya pasti terkabulkan. Curahkan sholawat atas mereka selama para muwahhid memohon dan orang-orang saleh bermunajat bersimpuh di pintu-Mu
Ali bin Abi Thalib–

Dia Yang Tak Bisa Diliputi Nama

 


A.Sebutan Tuhan

Sahabat-sahabat, kadang kita terlalu cepat ‘memagari diri’ dari istilah-istilah yang kita anggap tidak berada dalam domain yang sama dengan agama kita. Terlalu cepat ‘mengkafirkan’. Bukan mengkafirkan orang lain, tapi mengkafirkan bahasa (lain). Dengan memagari diri seperti ini, apalagi dengan didahului prasangka, maka dengan sendirinya kita akan semakin sulit saja memahami hikmah kebenaran yang Dia tebarkan di mana-mana.
Padahal, dalam Qur’an pun Allah menjelaskan bahwa beragam bahasa adalah tanda dari-Nya juga.

“Dan diantara ayat-ayatnya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang-orang berilmu (’Alimiin).” Q.S. 30 : 22.

Jika ada orang menyebut tuhannya sebagai Yehovah, Eloh, Eloheim, atau Adonai, mekanisme dalam pikiran kita mendadak seperti mencipta imaji-imaji bahwa ada banyak tuhan yang sedang berjejer, sesuai urutan sesembahan yang ada sepanjang masa. Ada tuhan yang disebut Yehovah, Eloheim, Jahveh, Brahma, Manitou, Zeus, Allah, Tuhan Alah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang kita sembah adalah yang disebut Allah, yang lainnya bukan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan kita dan agama kita. Pokoknya thoghut, atau kafir.
Benarkah begitu? Bukankah Tuhan hanya satu? Bukankah ‘Laa ilaaha Ila’Llah’ artinya tiada Tuhan selain Allah? Wallahu ‘alam, meski saya mengerti bahwa Tuhan hanya satu, tapi saya belum mengetahui secara total makna lahiriyah maupun batiniyah dari kalimat syahadat itu. Tapi setidaknya, bukankah cara berfikir yang seperti tadi juga berarti bahwa tanpa sadar pikiran kita telah menyejajarkan Dia dengan selain-Nya? Atau, secara halus dan tersamar sekali, itu artinya kita masih mengakui bahwa ada banyak entitas dalam satu himpunan tuhan, dan Allah adalah salah satu dari yang ada dalam himpunan itu. Bukankah itu keterlaluan?

Istilah ‘Allah’ sudah ada sejak sebelum Al-Qur’an turun. Sebelum junjungan kita Rasulullah menerima wahyunya yang pertama, bangsa Arab sudah menggunakan kata- kata ‘demi Allah’ jika mengucapkan sumpah. Hanya saja, mereka juga sering menyebut nama patung-patung mereka, ‘demi Lata’ atau ‘demi Uzza’, ‘demi punggung istriku’, atau bahkan ‘demi kuburan ibuku’, dalam sumpah mereka.

Kapan istilah ‘Allah’ pertama kali dikenal manusia? Tidak tahu persis. Diperkirakan tidak akan jauh dari periode kemunculan agama Islam yang dibawa Rasulullah di tanah Arab. Tapi apakah berarti, pada periode sebelum itu, Allah diam saja di langit sana, dan tidak memperkenalkan diri-Nya? Rasanya kok tidak demikian ya. Saya suka bertanya-tanya, misalnya dengan nama apa Allah mengenalkan diri-Nya pada nabi Ya’kub as dan nabi Musa as, nabi bangsa Bani Israil? Karena pada kenyataannya, bangsa yahudi sekarang tidak menyebut nama-Nya dengan sebutan ‘Allah’ yang sesuai dengan bahasa Arab.

Kitab suci dari Allah yang kita kenal ada empat: Taurat, Zabur, Injil, dan kitab penutup dan penyempurna semuanya, Al-Qur’an. Taurat, atau Torah, turun kepada Nabi Musa as. Karena Musa adalah orang Bani Israil, tentu kitab yang turun pun berbahasa mereka, Ibrani. Demikian pula Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Semua turun dan disampaikan dengan bahasa penerimanya.
Jadi, apakah salah jika orang yang kebetulan beragama lain, menyebut nama Allah dengan nama yang turun pada bahasa kitab mereka? Apakah itu Tuhan yang lain? Belum tentu. Sekali lagi, kita tidak boleh terlalu cepat ‘mengkafir-kafirkan’, termasuk mengkafirkan bahasa dan istilah.

Ada banyak sekali irisan kemiripan bahasa-bahasa agama dalam sejarah. Sebagai contoh, nama ‘Allah’, sangat mirip dengan ‘Eloh’. Dalam kitab-kitab Ibrani, Tuhan disebut sebagai ‘Eloheim’. Dari asal kata ini, kita mengerti misalnya arti kata ‘betlehem.’ Dari asal katanya, Bethel dan Eloheim. ‘Bethel’ bermakna rumah, dan ‘Eloheim’ adalah Allah. Rumah Allah. Jika demikian, apa bedanya kata ‘Betlehem’ dengan ‘Baytullah’?

Juga ‘Yehova’ atau ‘Yahwe’, sangat mirip dengan ‘Ya Huwa’, Wahai Dia (yang tak bernama). Yang agak ‘mencurigakan’, adalah inti ajaran Socrates, ‘Gnothi Seauthon’, yang artinya adalah ‘Kenalilah Dirimu.’ Dari segi makna, ini sangat mirip dengan inti hadits yang sering diulang-ulang oleh para sahabat Rasulullah maupun para sufi terkemuka, ‘man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,’ mereka yang ‘arif tentang dirinya, akan ‘arif pula tentang Rabb nya.’ Esensinya sangat mirip: mengenal diri. Dan sebuah fakta yang tak kalah menariknya, sejarah mencatat bahwa Socrates adalah guru dari Plato, Plato guru dari Aristoteles, dan Aristoteles adalah guru dari Alexander of Macedon. Sosok yang terakhir ini oleh sebagian ahli tafsir disamakan dengan Iskandar Dzulqarnayn, sosok panglima yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua tuhan sama saja, yang berbeda hanya namanya. Atau dewa pada tiang totem yang disembah bangsa indian apache adalah Allah juga. Bukan begitu. Saya hanya mengatakan bahwa kita sebaiknya jangan terlalu ‘alergi’ dengan kata-kata agamis dari agama lain. Kita harus berhati-hati sekali untuk ‘mengkafirkan’ istilah. Sebab kalau ternyata salah, maka artinya kita ‘mengkafirkan’ sebuah hikmah atau sebuah tanda dari-Nya. Maka kita akan semakin jauh saja dari kebenaran.

Bukankah Allah pasti menyebarkan jejak-Nya di mana-mana, sepanjang zaman? Dan jangan berfikir bahwa Allah hanya pernah dan hanya mau ‘muncul’ di agama kita saja. Ini berarti kita, sebagai makhluk, berani-berani menempatkan Allah dalam sebuah himpunan, ke sebuah konsep di dalam kepala kita. Himpunan deretan tuhan, atau himpunan kelompok agama.
Allah adalah Tuhan. La Ilaha Ilallah. Dia ada di luar himpunan apapun. Dia tak beragama, dan tidak memeluk agama apapun. Karena itu, kita jangan berfikir, baik sadar maupun tidak, bahwa Allah ‘beragama Islam’.
Agama diciptakan-Nya sebagai jalan untuk memahami-Nya, memahami kehidupan, dan memahami diri ini. Segala sesuatu Dia ciptakan dan Dia akhiri. Maka Allah adalah sumber dan akhir segalanya. Dua asma- Nya adalah ‘Al-Awwal’ dan ‘Al-Akhir’. Ini pun sebuah kebetulan yang menarik, karena bangsa Yunani kuno, bangsanya Socrates dan Plato, eyang guru dari Alexander tadi, juga menyebut salah satu nama yang dimiliki Tuhan mereka sebagai ‘Alpha Omega’, berarti ‘Yang Awal dan Yang Akhir’ (Alpha = Alif = huruf awal dalam alfabet yunani dan arab, simbol ‘awal’; sedangkan Omega = huruf terakhir dalam alfabet yunani, simbol ‘akhir’). Kemiripan yang sangat menarik, ya?

B.Asma-asma Allah.

Allah, adalah sebuah zat, sebuah entitas, yang tertinggi. Tak terbandingkan, tak terukur, tak terperi. Lalu apakah kita, sebagai makhluk, memungkinkan untuk menempatkan Dia ke dalam kepala kita, menaruhnya ke dalam sebuah konsep ‘nama’? Tentu tidak. Dia, secara utuh, secara menyeluruh, secara real, sesungguhnya tak bernama. Tak ada apapun yang bisa membungkus-Nya, termasuk sebuah nama.
Lalu untuk apakah, atau nama-nama siapakah, yang berjumlah sembilan puluh sembilan sebagaimana diperkenalkan dalam Al-Qur’an, dan disusun sebagai ‘asma’ul husna’? Nah, itu adalah bukti begitu penyayangnya Dia pada makhluknya yang satu ini, manusia.
Penjelasannya begini. Dia Yang Tertinggi jelas tak mungkin dibungkus atau terliputi oleh apapun, termasuk sebuah nama. Tapi Dia bersedia ‘menurunkan derajat-Nya’ demi supaya lebih dimengerti oleh manusia. Maka Dia memperkenalkan diri-Nya, bagi mereka yang ingin mengenal-Nya di tahap awal, dengan memisalkan dirinya dengan nama-nama sifat manusia. Memisalkan diri-Nya dengan nama-nama yang memungkinkan untuk dideskripsikan dalam bahasa manusia.

Ambil contoh, Ar-Rahmaan (Maha Pengasih) atau Ar-Rahiim (Maha Penyayang). Kita bisa memahami makna dua kata ini, karena nama sifat-sifat ini, pengasih dan penyayang, adalah nama sifat yang juga ada pada manusia. Tapi dari segi makna, kedua kata ini dalam memperkenalkan nama sifat-Nya sebenarnya telah mengalami degradasi makna yang amat sangat.

Maha Pengasih, atau Ar-Rahmaan, adalah ‘hanya’ bahasa manusia yang paling memungkinkan untuk menggambarkan salah satu sifat-Nya. Tapi kedalaman makna istilah ini telah berkurang jauh sekali, karena Dia, yang Tak Terperi, memisalkan diri-Nya dengan istilah manusia yang jelas tak memadai untuk melukiskan diri-Nya yang tak terbatas. Dalam asma’ul husna, misalkan istilah ‘Ar-Rahim’, sebenarnya ‘hanya’ merupakan sebuah istilah yang masih memungkinkan untuk bisa terpahami oleh manusia. Sifat Penyayang-Nya yang asli, yang real, yang tidak bisa dimisalkan dengan bahasa manusia, adalah jauh, jauh, jauh lebih penyayang lagi, melebihi apa yang tergambar pada sepotong kata ‘Ar-Rahim’.

Demikian pula untuk ke-98 asma asma Allah yang lain. Semua nama-nama tersebut, sebenarnya mengalami degradasi makna yang sangat jauh dari aslinya, demi supaya terpahami oleh kita, manusia. Sifatnya yang asli, tak terkira jauhnya melebihi apa yang mampu tergambarkan oleh sepotong kata dalam bahasa kita, manusia.
Allah telah berkenan ‘merendahkan diri-Nya’ ke dalam nama sifat-sifat manusia, yang jauh, jauh lebih rendah dari kedudukan-Nya yang asli. Ia bersedia dipanggil dengan bahasa kita. Ini sebuah bukti kasihsayang-Nya yang amat sangat. Bisakah kita membayangkan, misalnya ada seorang raja yang kerajaannya mencakup lima benua, lalu bersedia turun berjalan di pasar kumuh dan mau dipanggil dengan bahasa pasar, seperti ‘Lu’, ‘Sia’, atau ‘Kowe’? Raja tentu akan sangat murka. Tapi Dia, Allah, tidak. Meskipun Dia Maha Tinggi kedudukannya, tapi Dia bahkan bersedia memperkenalkan diri-Nya lebih dahulu (!), dan membahasakan diri-Nya dengan bahasa manusia, dan mencontohkan asma-Nya dengan sifat manusia.

‘Dia’ yang asli, sesungguhnya tidak bernama. Lalu istilah ‘Allah’ itu apa? Istilah itu ‘hanyalah’ bagian dari asma’ul husna, pada urutan yang pertama.
Istilah ‘Allah’, menurut seorang ahli hikmah, sebenarnya sebuah simbol juga. Menurutnya, istilah ‘Allah’, yang terdiri dari:

‘alif’, ‘lam’, ‘lam’ dan ‘ha’,
sesungguhnya merupakan singkatan dari kata bahasa Arab:
‘Al/Alif - li - li - hu/huwa’.

‘Al’ dalam bahasa Arab bermakna kata ganti tertentu, maknanya sama seperti ‘The’ dalam bahasa Inggris, atau seperti ‘El’ dalam bahasa Ibrani dan bahasa Spanyol. Maknanya, katakanlah, ’sesuatu’. Huruf ‘Alif’ bermakna ’sesuatu yang tegak’, ‘Allah’, atau bisa juga ‘yang mengawali’, mirip seperti alpha dalam aksara Yunani. Kata ‘Li’ dalam bahasa Arab bermakna ‘bagi sesuatu’, dan dalam lafaz ‘Allah’ kata ini diulang dua kali. Sedangkan ‘hu’ atau ‘huwa’ bermakna ‘Dia’.

Jadi lafaz ‘Allah’, kata yang di dalam Al-Qur’an paling sering dipakai-Nya untuk menyebut diri-Nya, sebenarnya sama sekali tidak mencakup keseluruhan zat-Nya. Lafaz ‘Allah’ sebagai simbol, sebenarnya justru mempertegas bahwa ‘Dia’ adalah tak bernama. Mengapa demikian? Karena jika makna ini dibaca secara keseluruhan, maka “Al, li, li, hu” kurang lebih maknanya adalah ‘Sesuatu, yang baginya diperuntukkan, dan sesuatu ini diperuntukkan, untuk Dia.” Jadi artinya secara sederhana adalah, ‘(simbol) ini diperuntukkan, dan permisalan ini diperuntukkan, untuk Dia (yang tak bernama).”
Dia yang asli, sebagai zat (entitas), sama sekali tak bisa diliputi oleh sebuah nama.

C.Hadits Rasulullah yang mengandung simbol serupa.

Kalau kita teliti dalam memperhatikan hadits berikut ini, kita akan mengerti bahwa Rasulullah bukan orang yang berkata dengan ‘pendapatnya sendiri’. Orang dalam tingkatan maqam seperti Rasulullan saw., tentulah setiap tindak tanduk dan perkataanya sudah sepenuhnya dalam bimbingan Allah swt. Tampak dari demikian akuratnya simbol-simbol yang digunakan, meskipun jika kita baca secara sepintas hadits ini sangatlah sederhana dan tidak bermakna dalam. Hanya kalau kita teliti, betapa dalam dan akuratnya simbol yang Beliau gunakan dalam kata- katanya.

Kita lihat hadits berikut ini:
Diriwayatkan dari riwayat Abu Hurairah ra.:
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?”
Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?”

Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia kelak mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”
[H. R. Muslim no. 267]

Sepintas, hadits ini hanya berisi tentang melihat Allah di hari kiamat. Tapi kalau kita teliti lebih jauh perumpamaan yang digunakan dengan kacamata ilmu astronomi yang pada saat Rasul mengatakan hadits tersebut ilmu ini belum semaju sekarang, sebenarnya hadits ini juga menjelaskan bahwa ada bagian dari ‘Dia’ yang tak akan bisa kita kenali. Kita cermati perumpamaan bulan purnama yang dipakai beliau dalam hadits ini.
Sebagaimana kita tahu, pada saat bulan purnama di langit malam yang cerah, kita bisa melihat bulan ’seluruhnya’. Kata seluruhnya ini saya beri tanda kutip, karena memang ’seluruhnya’ itu semu. Kita melihat –seakan-akan– bulan tampak seluruhnya dari mata kita. Kita, saat itu, seakan-akan bisa ‘mengenal’ bulan seluruhnya.
Nah, di zaman modern ini, kita tentu mengetahui bahwa bulan adalah sebuah ’satelit,’ sebuah planet kecil yang mengelilingi bumi. Periode waktu rotasi bulan, sama persis dengan periode lamanya bulan mengelilingi bumi. Jadi, permukaan bulan yang menghadap bumi setiap saat adalah sisi yang sama persis, yang itu-itu saja. Tidak berubah.
Demikian pula, ada sisi lain di balik bulan yang akan selalu tidak tampak dari bumi, yang setiap saat akan selalu membelakangi bumi, tidak akan pernah terlihat dari bumi. Dengan kata lain, jika kita berdiri di sisi bulan yang terlihat dari bumi, maka meski bulan berotasi sambil terus mengorbit mengelilingi bumi, kita akan selalu terlihat dari bumi. Sebaliknya, jika kita berdiri di sisi bulan yang tidak terlihat dari bumi, maka kita tidak akan pernah terlihat dari bumi pula.

Inilah sebabnya, sejak zaman manusia pertama ada hingga sekarang, permukaan bulan yang tampak dari bumi kelihatannya tak pernah berubah, karena sisi yang menghadap bumi senantiasa merupakan sisi yang sama.
Di hadits ini, Rasul memisalkan Allah sebagai bulan purnama. Bulan, sebagaimana telah dijelaskan tadi, hanya ada satu sisi yang bisa terlihat oleh kita. Jadi, secara tersirat dalam hadits tadi, Rasulullah juga menjelaskan bahwa sesempurna- sempurnanya pengenalan seseorang akan Allah (seperti orang yang telah mencapai maqam para sahabat Beliau itu), sebenarnya barulah satu sisi dari Dia saja. Sisi yang memang Dia hadapkan sepenuhnya kepada manusia. Sisi inilah yang dalam bahasa agama disebut sebagai “Wajah-Nya.”
Tapi sampai kapan pun, akan tetap ada sisi lain dari Dia yang tidak akan pernah terpahami oleh manusia (karena Dia sesungguhnya Maha Tak Terbatas). Dan keseluruhan ‘Dia’ secara utuh, yang bisa dikenali dan yang tidak, dalam bahasa agama disebut “Zat-Nya,” atau entitas-Nya, secara keseluruhan.
Jadi sekarang kita bisa lebih memahami, jika dalam Al-Qur’an atau doa yang diajarkan Rasulullah mengandung kata-kata ‘wajah Allah’ atau ‘wajah-Nya (wajhahu)‘, maka itu bukan berarti bahwa Dia memiliki wajah di depan kepala seperti kita. Itu maknanya adalah, konteks ‘Dia’ dalam kalimat itu adalah pada sisi yang masih bisa kita kenali. Sedangkan Zat-Nya yang utuh tidak akan pernah bisa kenali.
Mengenai zat-Nya, Al-Qur’an sendiri cukup menerangkan seperti ini:

“…laysa kamitslihi syay’un”

“… dan tiada sesuatupun yang bisa dijadikan permisalan untuk Dia.” (QS. 42 : 11)
Rasul melarang manusia memikirkan zat-Nya, dalam sabdanya, “Berfikirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan sekali-kali berfikir tentang zat-Nya, sebab kalian akan binasa.” Bahkan Beliau sendiri pun mengakui bahwa dirinya tidak memahami ‘Dia’ dalam konteks zat, sebab dalam sabdanya Beliau menjelaskan, “sesungguhnya aku adalah orang yang bodoh dalam ihwal zat Tuhanku.”

Kembali pada contoh bulan di atas. Bulan, sesuai periode edarnya, akan tampak dari bumi bermacam-macam bentuknya, mulai dari bulan hitam (bulan tak tampak), bulan hilal, bulan sabit, bulan setengah, hingga bulan purnama.
Sebenarnya demikian pula pengenalan manusia kepada Allah ta’ala. Ada yang tidak mengenal sama sekali (bulan hitam), ada yang pengenalannya setipis hilal, ada yang pengenalannya seperti bulan setengah, dan ada pula yang pengenalannya terhadap Allah telah ‘purnama’. Namun demikian, sebagai zat tetap saja Dia tidak akan pernah terpahami sepenuhnya oleh manusia, karena Dia adalah Maha Tak Terbatas.

Dari sini saja, kita bisa mengerti bahwa faham panteisme, atau menyatunya Tuhan dan manusia sebagaimana yang dituduhkan kepada kaum sufi, adalah tidak tepat. Tentu mustahil sesuatu yang tak terbatas bisa terlingkupi oleh sesuatu yang terbatas.
Agaknya yang dituduhkan pada kaum sufi sebagai panteisme atau penyatuan, sebenarnya yang terjadi adalah ’sirna kediriannya’. Contohnya seperti cahaya lilin yang akan lenyap cahayanya jika diletakkan di bawah cahaya matahari. Ini masih perlu kita kaji lebih lanjut. Atau paling tidak, agaknya tidak semua sufi meyakini panteisme. Seperti kata teman saya: “Sufi, pantheisme? Sufi yang mana dulu, nih?”

Sekarang, dari cara Rasulullah memberikan contoh pada dalam hadits di atas, kita bisa lebih mengerti kira-kira sedalam apa akurasi hikmah dari kata-kata seseorang jika telah ada dalam tingkatan maqam seperti junjungan kita Rasulullah Muhammad saw. Tentu beliau tidak asal ambil contoh saja, seperti ketika kita sedang berusaha menerangkan sesuatu kepada orang lain. Sekarang semakin jelas pula bahwa segala sesuatu dari diri Beliau telah ditetapkan dalam bimbingan Allah ta’ala, bahkan sampai hal ’sepele’ seperti mengambil contoh yang tepat ketika menerangkan sebuah persoalan.
Juga sebagaimana hadits Rasulullah tadi, segala sesuatu dalam ciptaan-Nya pun tidaklah semata-mata hanya sebagaimana yang tampak dari luar. Allah tentu tidaklah sesederhana itu. Seperti hadits tadi, segala sesuatu juga mengandung makna batin. Alam semesta, bulan, bintang, batu, hewan, tumbuhan, manusia, syariat (ada syariat lahir dan tentu ada syariat batin), dan lain sebagainya. Sedalam apa seseorang melihat maknanya, tentu sangat tergantung pada kesucian qalbnya, sarana untuk menerima ilmu dari-Nya.
Kini kita bisa sedikit lebih mengerti pula, seperti apa kira-kira kesucian qalb Rasulullah saw, jika kata-kata Beliau mampu menyederhanakan kandungan makna yang sedalam itu (itupun baru yang bisa kita ungkapkan) dalam kesederhanaan simbol-simbol yang sangat akurat.
Kalau Al-Qur’an? Lebih tak bisa kita bayangkan lagi seperti apa sesungguhnya kedalaman kandungan makna Al-Qur’an.
Semoga bermanfaat,

Minggu, 19 Februari 2012

Ma’ruf Al Kharqi, Seorang Sufi Yang Mabuk Cinta Pada Allah


Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.
Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.
Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itutanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.
Cinta Ilahiah
Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.
Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”
Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
# # # #
Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.
Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”
Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.