Mbah Syahid, begitulah kami memanggil beliau. Hampir satu tahun sekali dahulu kami sering berziarah ke PP di daerah Kemadu, Rembang. Beliau merupakan sosok Kiyai yang sangat Tawadlu dan menghormati setiap tamu yang datang berkunjung dengan menyediakan makan besar seperti sambel mangut khasnya. Beliau adalah murid dari Simbah Abdullah Chafidz, Rembang bersama-sama dengan KH Abdul Wahab, Kauman Rembang. Saking tawadlunya bila tamu yang akan pamit pulang (terutama dari luar kota) diminta untuk memimpin do’a, karena Do’a Musafir adalah Mustajab.
Ada suatu kekhasan pada diri beliau yang sampai saat ini kami kenang adalah mengucapkan “ALHAMDULILLAH”. Ceritanya begini , Seusai mengikuti suatu kegiatan Nahdlatul Ulama di Semarang, rombongan kyai Rembang dalam satu mobil dalam perjalanan pulang. Diantara mereka adalah Mbah Kyai Ahmad Syahid bin Sholihun rahimahullah dari Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang.
Melewati wilayah Demak yang jalanannya senantiasa dalam kondisi buruk, mobil itu tak dapat melaju kencang. Tiba-tiba dari dalam air kanal di pinggir jalan itu menyembul sesosok (untungnya!) laki-laki tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya. Dengan penuh percaya diri, laki-laki itu mendaki keatas tebing sembari menggenggam erat pusat rasa malunya —seolah-olah jika yang itu tertutup berarti seluruh bagian tubuh sisanya pun tak kelihatan.
Terang saja pemandangan tak senonoh itu menghujam penglihatan para kyai. Lumrah bila beliau-beliau terperanjat bukan kepalang.
“Astaghfirullah!” Kyai Mabrur berseru.
“Maa syaa-allaah!” Kyai Wahab.
“Laa ilaaha illallaah!” Kyai Tamam.
“Subhaanallaah!” Kyai Sahlan.
Dan Mbah Syahid?
“Al… ham… dulillaaaah…”
* * * * *
Selain merupakan dzikir yang dibiasakan, “alhamdulillah” bagi Mbah Syahid adalah kredo. Segala yang terjadi adalah kehendak dan karya Allah: “maa syaa-allaahu kaana wa maa lam yasya lam yakun”. Dan dalam setiap kehendak dan karya-Nya, hanya pujianlah yang patut bagi Allah. Selama saya mengenal Mbah Syahid —ingatan terjauh saya adalah ketika masih kanak-kanak antara 5-6 tahun diajak kakek saya berkunjung ke kediaman beliau dan saya mengejar-ngejar seekor menthog yang oleh Mbah Syahid kemudian dihadiahkan kepada saya— belum pernah saya mendengar beliau nyebut selain “alhamdulillah”.
Ada orang mengabarkan lahir anaknya,
“Alhamdulillah”.
Orang menceritakan laku sapinya,
“Alhamdulillah”.
Orang wadul sakit isterinya,
“Alhamdulillah”.
Orang meninggal bapaknya,
“Alhamdulillah”.
Seolah tak ada dzikir yang patut selain “alhamdulillah”.
Sejauh bentang ingatan saya, entah sejak kapan, Mbah Syahid dijuluki orang “Kyai Alhamdulillah”. Pesantrennya yang tanpa papan nama —dan memang tak pernah diberi nama— disebut-sebut orang “Pesantren Alhamdulillah.”
Amalan yang masih saya dawamkan hingga kini ba’da shalat adalah “Yaa Allah, Yaa Nuur, Yaa Haq, Yaa mubiin 7x.
Mbah Syahid Allahumma Yarham, doakan kami di sini semoga kami bisa berkumpul dengan Zumrotil Auliya bersama Kanjeng Nabi SAW..Alfatihah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar